‘Norma’ Sosial Perempuan, Siapa yang Menciptakan ?

- 7 Oktober 2021, 12:00 WIB
‘Norma’ Sosial Perempuan, Siapa yang Menciptakan ?
‘Norma’ Sosial Perempuan, Siapa yang Menciptakan ? /Pixabay/SCY

KENDALKU – Simak norma sosial perempuan menjadi seperangkat pedoman yang mengatur batasan dalam kehidupan yang harus ditaati dengan baik oleh perempuan.
 
norma sosial perempuan misalnya dalam prinsip yang masih dianut oleh banyak masyarakat, yakni perempuan tidak boleh terlambat menikah dan harus menomorsatukan keluarga.
 
Menomorsatukan keluarga berarti perempuan harus memberikan perhatian penuh pada keluarga dengan mengerjakan pekerjaan rumah serta mengurus suami dan anak-anak termasuk norma sosial perempuan.
 
 
Perempuan juga tidak sepantasnya berkelahi, harus menaati perintah, dan berperilaku dengan lemah lembut agar tidak menyalahi norma sosial.
 
Sedangkan bagi laki-laki, berkelahi dan menunjukkan sikap maskulin adalah suatu kelaziman. 
 
Norma tersebut masih ada di berbagai lapisan masyarakat. Menjadikan perempuan memiliki batasan yang lebih daripada laki-laki. 
 
Hal tersebut bisa terjadi sebab tatanan kehidupan lebih dikuasai laki-laki dan banyak menguntungkan laki-laki. Tatanan ini disebut sebagai sistem patriarki.
 
 
Dalam praktiknya, laki-laki lebih dominan untuk mengambil peran di ranah publik, sedangkan perempuan berada di ranah domestik.
 
Hal tersebut menjadi sebuah bentuk ketimpangan, karena baik laki-laki maupun perempuan masa kini bisa berperan penting di kedua ranah tersebut.
 
Laki-laki pun juga manusia yang tidak semuanya cukup memiliki kebijaksanaan penuh.
 
Maka tidak akan menjadi baik apabila hanya laki-laki yang berkuasa, sebab sesungguhnya kehidupan di dunia ini adalah ketersalingan.  
 
Presiden Indonesia ke-3, KH. Abdurrahman Wahid mengeluarkan Undang-undang tentang Pengarusutamaan Gender. 
 
Peraturan ini menegaskan bahwa seluruh elemen masyarakat dan pemerintahan harus menerapkan prinsip adil gender dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. 
 
Adil gender dapat diwujudkan dengan menciptakan ruang yang ramah baik dalam ranah publik maupun domestik.
 
Kesempatan yang sama mestinya bisa didapatkan baik untuk laki-laki maupun perempuan.
 
 Namun banyak masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan memiliki produktivitas yang lebih rendah dari laki-laki, kurang maksimal dalam pengambilan keputusan, dan cenderung menggunakan perasaan sensitifnya dalam banyak hal.
 
Perempuan juga diasumsikan sebagai objek yang harus selalu bisa menampilkan kecantikan dan keindahan tubuhnya.
 
Perempuan dengan sisi feminitas atau kelembutan dan laki-laki yang cenderung menampakkan sisi maskulinitas atau ketangguhannya seringkali dihubungkan dengan kodrat.  
 
Padahal sisi kelembutan dan ketangguhan adalah sifat yang dimiliki oleh setiap manusia. 
 
Dalam praktiknya di masyarakat, hal-hal terkait sisi feminitas dan maskulinitas dihubungkan dengan peran dan standar perilaku. 
 
Seorang laki-laki yang menampakkan sisi tidak kuasanya dianggap bukan laki-laki seutuhnya.
 
 Sedangkan perempuan yang keluar dari sikap lemah lembut dianggap sebagai perilaku yang tidak wajar.
 
Seseorang yang menginginkan dirinya untuk memiliki otoritas lebih tinggi cenderung akan menampakkan dirinya lebih kuat, sedangkan orang lain tetap berada pada batas yang tidak boleh melebihi dirinya. 
 
Norma sosial manusia yang sejati adalah akhlak mulia, dengan bisa menyesuaikan sikapnya dengan kondisi yang ada di sekitar. 
 
Sedangkan Norma Sosial Perempuan yang mengekang adalah ciptaan pihak yang “lebih kuat” untuk membatasi ruang gerak.***

Editor: Afrilila Indah Sidqiani

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah