Yaitu, jelas Ganjar, dengan menanamkan jiwa nasionalisme, berpikiran terbuka dan toleran, waspada terhadap provokasi dan hasutan, berjejaring dalam komunitas positif dan perdamaian, dan menjalankan aktivitas keagamaan dengan toleran.
Upaya menangkal radikalisme juga secara kuratif, yakni memberikan pemahaman tentang bahaya dan dampak radikalisme.
Selain itu, lanjutnya, memberikan pemahaman tentang ajaran agama yang benar, serta menguatkan nilai-nilai nasionalisme, toleransi dan perdamaian.
"Perdamaian, perdamaian, ada lagunya, lho," celetuk Ganjar dengan nada jenaka.
Ganjar juga menyebut seumlah media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, atau sejenisnya, biasanya bermunculan ujaran yang melenceng.
Hendaknya, imbuh Ganjar, siswa bisa selektif dan bijak dalam menanggapi.
Termasuk juga, bila di medsos terdapat konten yang menyalahkan kebaikan yang selama ini diajarkan orang tua, siswa hendaknya mengabaikan itu semua.
"Kalau di medsos ada yang serem, kita beri contoh yang baik," sambungnya.
Paham radikal semacam itu, lanjutnya, biasanya bersliweran di media sosial.
Ganjar menjelaskan, biasanya dilakukan oleh kelompok tertentu atau sekelompok kecil yang merasa paling benar sendiri. Sedangkan pihak lain adalah salah.
"Ciri radikal itu fanatik, menganggap diri benar, yang lain salah, intoleran, tidak mau menerima perbedaan dan keyakinan orang lain, revolusioner ingin ada perubahan secara drastis. Tidak jarang ada kekerasan, eklusif atau memisahkan diri," ujarnya.